Hari Selasa, 11 Jumada Al-Tsaniya h 1235 H atau 1820 M. ‘Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraa n yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Khalil.
Kiai ‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin ummat, sebagaiman a nenek moyangnya. Seusai meng-adzan i telinga kanan dan meng-iqama ti telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah agar Dia mengabulka n permohonan nya.
K.H. Khalil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif mendambaka n anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunann ya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukka n bakat yang istimewa, kehausanny a akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausanny a mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimny a ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
BELAJAR ke PESANTREN
Mengawali pengembara annya, sekitar tahun 1850–an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren Keboncandi , Pasuruan.
Selama di Keboncandi , Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung keluargany a di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatka n ilmu, Khalil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanan nya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin; dan ini dilakukann ya hingga ia -dalam perjalanan nya itu- khatam berkali-ka li.
Sebenarnya , bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi , meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomi annya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil pertaniann ya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain) , Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.
Akan tetapi, Khalil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuany a. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Khalil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik inulah Khalil memenuhi kebutuhann ya sehari-har i.
Kemandiria n Khalil juga nampak ketika ia berkeingin an untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Khalil tidak menyatakan niatnya kepada orangtuany a, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuany a.
Kemudian, setelah Khalil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi . Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Khalil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehn ya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Khalil menyiasati nya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-tema nnya, dari situlah Khalil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Khalil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Khalil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatl ah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarann ya bisa tertutupi dari hasil tabunganny a selama nyantri di Banyuwangi , sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Khalil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Khalil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatka n diri kepada Allah, agar perjalanan nya selamat.
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Khalil belajar pada para syekh dari berbagai mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderun gannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyika n. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.
Kebiasaan hidup prihatinny a pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-tema nnya, cukup mengherank an. Teman seangkatan Khalil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani , Syekh Ahmad Khatib Al-Minangk abawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatin an temannya itu.
Padahal, sepengetah uan teman-tema nnya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya, dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga memanfaatk an kepiawaian nya menulis khat (kaligrafi ). Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang membiasaka n diri hidup prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkina n besar dipengaruh i ajaran ngrowot (vegetaria n) dari Al-Ghazali , salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya .
Sepulangny a dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangan nya) , Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Khalil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan , sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirann ya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatanga n dari desa-desa sekitarnya . Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakann ya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya . Kiai Khalil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan , hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirann ya.
Di tempat yang baru ini, Kiai Khalil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Kiai Khalil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Kiai Khalil lebih dikenal.
GEO SOSIOLOGI POLITIK
Pada masa hidup Kiai Khalil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyaband iyah di daerah Madura. Kiai Khalil sendiri dikenal luas sebagai ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutka n kepada siapa Kiai Khalil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Kiai Khalil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyaband iyah Muzhariyah ), tetapi, Martin masih ragu, apakah Kiai Khalil penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Kiai Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Khalil melakukan perlawanan ; pertama, ia melakukann ya dalam bidang pendidikan . Dalam bidang ini, Kiai Khalil mempersiap kan murid-muri dnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan , tangguh dan mempunyai integritas , baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-sega n untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan pesantrenn ya dijadikan tempat persembuny ian.
Ketika pihak penjajah mengetahui nya, Kiai Khalil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahka n diri. Tetapi, ditangkapn ya Kiai Khalil, malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-k ejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutny a, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya . Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Khalil untuk di bebaskan saja.
KIPRAHNYA dalam PEMBENTUKA N NU
Peran Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbaw ahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.
Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentuka n NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran) , yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-pr aktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembang annya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisas i) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan , Kiai Wahab selalu menyosiali sasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaru h pada saat itu.
Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-mert a menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya. ” Kata Kiai Khalil sambil menyerahka n sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanla h kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini: Wama tilka biyaminika ya musa, Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa abusyyu biha ‘ala ghanami waliya fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala Khudzha wa la takhof sanu’iduha sirathal ula wadhumm yadaka ila janahika takhruj baidha’a min ghiri su’in ayatan ukhra linuriyaka min ayatil kubra.” Pesan Kiai Khalil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.
“Kiai, saya diutus Kiai Khalil untuk mengantark an dan menyerahka n tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluark an sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimany a dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan? ” Tanya Kiai Hasyim.
“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaik an ayat yang disampaika n Kiai Khalil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang , terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-tema nnya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangka n.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaik an tasbih ini,” kata As’ad.
“Kiai juga diminta untuk mengamalka n Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-t unggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimany a dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.
TAREKAT & FIQIH
Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-ma zdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh.
Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapka n sebelumnya , di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyaband iyah, Qadiriyah wa-Naqsyab andiyah, Naqsyaband iyah Muzhariyah dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibat an Kiai Khalil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Khalil dikenal pertamakal i dikarenaka n kelebihann ya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Kiai Khalil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabung kan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentang an seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangk abawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Khalil.
Memang, Kiai Khalil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gen carnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Khalil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Khalil tidak sampai mengharamk an atau pun menyebutny a sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Khalil justru meletakkan dan menggabung kan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam penggabung an dua hal ini, Kiai Khalil menundukka n tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-aja ran tarekat mempunyai batasan-ba tasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya . Namun, yang cukup disayangka n adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaska n tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabung an tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.
PENINGGALA N
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutka n tentang karya Kiai Khalil; akan tetapi Kiai Khalil meninggalk an banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggala n Kiai Khalil diantarany a:
Pertama, Kiai Khalil turut melakukan pengembang an pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Khalil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng) , Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakbera s) , Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-muri d Kiai Khalil, banyak murid-muri d yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua, selain Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura –khususnya , ia juga meninggalk an kader-kade r Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-p emimpin umat.
K.H. Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri . Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan ) dengan para murid Kiai Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambun gan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat pada 1825 (29 Ramadhan 1343 H) dalam usia yang sangat lanjut, 108 tahun.