Sebelum lahir, tanda-tanda khoriqul
‘addah telah tampak pada jabang bayi Hadratus Syekh. Beliau berada dalam
kandungan sang ibu selama 14 bulan. Masyarakat Jawa kala itu memiliki keyakinan
bahwa masa kandungan yang panjang mengindikasikan kecemerlangan sang bayi di
masa depan. Sang ibu lebih yakin akan isyarat ini, karena dirinya pernah
bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit tepat menngenai perutnya yang
sedang mengandung.
Ketika mimpi ini diceritakan kepada sang
suami, beliau tidak tahu persis apa yang akan terjadi. Namun beliau pernah
mendengar bahwa mimpi semacam ini merupakan pertanda anugerah dari Allah SWT.
Pada masa mengandung pula, Nyai Halimah menjalankan berbagai macam tirakat
sebagi jembatan mendekatkan diri kepada Sang Kholik.
Beliau senantiasa berpuasa di sepanjang hari, shalat malam tanpa henti serta tak lupa membaca Al-qur’an.Suatu hari, ketika sedang menampi beras, Ny Halimah mendapati berasnya berubah wujud menjadi emas. Lantas beliau bergegas melaksanakan shalat dhuha. Setelah shalat beliau berdoa: “Ya Allah, Saya tidak meminta harta. Saya hanya meminta kepadamu agar anak keturunan saya menjadi orang-otrang yang baik dan berguna bagi agama-Mu”
Beliau senantiasa berpuasa di sepanjang hari, shalat malam tanpa henti serta tak lupa membaca Al-qur’an.Suatu hari, ketika sedang menampi beras, Ny Halimah mendapati berasnya berubah wujud menjadi emas. Lantas beliau bergegas melaksanakan shalat dhuha. Setelah shalat beliau berdoa: “Ya Allah, Saya tidak meminta harta. Saya hanya meminta kepadamu agar anak keturunan saya menjadi orang-otrang yang baik dan berguna bagi agama-Mu”
Pada Hari Selasa Kliwon tangal 14
Februari 1871 M, yang bertepatan dengan 24 Dzulqo’dah 1287 H bayi yang
ditunggu-tunggu ini akhirnya lahir dengan membawa suasana gembira di Pondok
Gedang, sebuah pondok yang masyhur kala itu, terletak di Desa Tambak rejo – 2
km dari kota Jombang. Bayi istimewa itu, kemudian diberi nama Muhammad Hasyim.
Kelak beliau terkenal dengan nama Muhammad Hasyim Asy’ari. Nama yang dibelakang
ini adalah nama ayahnya, Kiai Asy’ari.
Dikisahkan, dukun kandungan yang
membantu kelahiran bayi Hasyim ini tercengang heran melihat proses babaran yang
begitu lancar. Setelah mengamati wajah si bayi, dukun itu meramalkan kelak ia
akan menjadi the founding father -pemimpin dan panutan seluruh ummat. Selain
itu ia juga meramalkan kalau bayi itu kerap menjadi pengantin baru. Ramalan
sang dukun ternyata tidak meleset. Perjalanan hidup Hadratus Syekh penuh dengan
berbagai kesibukan, mulai urusan nasionalis hingga religius . Di sela-sela
perjelanan hidup beliau pula untuk sekian kalinya beliau menikah.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi
dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru
kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh,
Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua
guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi,
antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim
belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan
pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu
sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana
telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang
dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang
sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah:
· Pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan
praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.
· Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas;
· ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
· keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin
Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya
Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan
sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar
ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para
mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa
pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh
Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di
antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak
demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan
kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri
dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk
memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa
mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem
mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti
buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak
menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan
bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam
berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat
antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut
kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan
Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.
Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung.
Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat
Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional
tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan,
terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para
sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori
KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok
tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah
yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya
kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok
tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam
membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal
dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi
ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang
pernah ada di Indonesia.
Garis Nasab
Sudah menjadi sunnatullah, dimana orang
yang baik menunjukkan nasabnya juga baik. Tak terkecuali Hadratus Syekh, bila
ditarik ke atas nasab beliau akan bersambung dengan Nabi Muhmmad SAW, lewat
Maulana Ishaq. Berikut rekapannya;
KH.M.Hasyim Asy’ari Tebuireng bin
KH.M.Asy’ari Keras bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin
Abdurrahman (Joko Tingkir) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin
Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri) bin Ibrahim Asmoro (Palang Tuban) bin
Jamaluddin Akbar al-Husaini bin Ahmad Jalaludin Syah bin Abdullah Khan bin
Abdul Malik Muhajir bin Alawi Hadramaut bin Muhammad Shahibu Marbat bin Ali
Choli’ Qosan bin Alawi Muhammad bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad
al-Muhajir bin Isa Al-basri bin Muhammad An-naqib bin Ali Uraidli bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Sayyidah
Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW. [1]
Ibunya, Nyai Halimah, adalah putri dari
pasangan Kiai Utsman dan Nyai Layinah. Kiai utsman adalah pendiri pondok
pesantren yang terletak di sebelah selatan pondok Gedang. Karena beliau ahli
thoriqat, maka pondok beliau ini masyhur akan ilmu thariqatnya. Ayah Nyai
Layinah bernama Kiai Abdus Salam yang dikenal dengan gelar Kiai Sihah. Konon
gelar itu diberikan karena kesaktian beliau ketika membentak musuh akan
berakibat lumpuh tanpa daya. Kata “Sihah” diambil dari bahasa Arab “Shaihah”
yang bermakna “bentakan yang menggeledek”. Pada tahun 1938, beliau mendirikan
pondok Gedang. Dari pondok inilah lahir ulama’-ulama ternama pada masanya. [2]
Hadratus Syekh juga sepupu KH. Wahhab
Hasbullah. Ayahnya bernama Kiai Hasbullah, putra dari Nyai Fatimah yang tak
lain adalah saudara kandung nyai Layyinah.
Ayah Hadratus Syekh bernama Kiai
Muhammad Asy’ari, seorang ulama’ tangguh berasal dari Gubug, Purwodadi Jawa
tengah. Beliau adalah keturunan kelima Abdurrohman alias Joko tingkir. Menuntut
ilmu ke berbagi pondok pesantren diantaranya Demak, Kudus, Jombang. Kemudian,
tepatnya di desa keras beliau mendirikan pondok pesantren dan Masjid sebagai
pusat pembelajaran serta peribadatan masyarakat sekitar. Dan di sanalah beliau
dimakamkan. Menurut keyakinan masyarakat, tanah makam Kiai asy’ari dapat
digunakan untuk pengobatan.
Rihlah Ilmiyah
Ketika usianya mencapai delapan tahun,
Hasyim kecil menerima didikan dari sang Ayah hingga usianya 13 tahun.
Sebelumnya ia telah dididik oleh kakeknya di pesantren Gedang.
Ketika usinya telah genap 15 tahun,
dengan disertai doa dan restu orang tuanya, Hasyim memulai mengembara thalabul
ilmu di pondok pesantren di tanah Jawa. Diantara Pondok yang pernah beliau
singgahi adalah; Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan, Langitan Tuban, Tenggilis
Surabaya, ponodok Siwalan Panji Sidoarjo, lalu di pondok yang paling masyhur
kala itu, asuhan Syaikhona Khalil di Demangan Bangkalan Madura.
Beliau masih belum puas dengan apa yang
telah didapatnya dari pesanten di Jawa. Maka kemudian sekitar tahun 1892 M.
beliau pergi mekkah untuk memperdalam ilmu disana. Diantara gurunya ialah;
Syekh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfudzh At-Turmusi, dan Syekh
Khatib Minagkabau, Syekh Ahmad Amin At-Ththar, Syekh Ibrohm Arab, Syekh Said
Yamani, Syekh Rahmatulah dan Syekh Bafaddhal, Sayyid Abbas Al-Maliki, Sayyid
Sulthan Hasyim Ad-Dagistani, Sayyid Abdullah Az-Zawawi, Sayyid Ahmad Bin Hasan
Al-Athas, Sayyid Alwi Bin As-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, Sayyid
Husain Al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.
Di sana beliau juga berguru pada ulama’
asal nusantara yang sangat masyhur di tanah Arab. Mereka itu ialah; Syekh
Muhammad Nawawi, asal Banten, Syekh Ahmad Khathib Asal Minangkabau, Syekh
Mahfudz asal Tremas, Syekh Abdus Syakur, asal Surabaya dll. Dari Syekh Mahfudz
At-termasi, beliau mendapatkan ijazah sanad kitab-kitab hadits, yang kelak
menjadikannya sebagi ulama pertama yang mengajarkan kitab hadits di tanah Jawa.
Berikut sanad kitab shahih bukhori;
Syekh Muhammad Hasyim Asy’ary al-jumbani
dari Syekh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-termasi dari gurunya Syekh sayid
abi bakr bin Muhammad Syata al-Makki dari Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dari
Syekh ‘Utsman bin hasan ad-dimyathi dari Syekh Muhammad bin ‘Ali as-syanwani
dari Syekh ‘Isa bin Ahmad Al-barawy dari Syekh Ahmad ad-dafry dari Syekh Salim
bin Andullah al-Bishri dari Ayahnya Syekh abdullah bin salim al-bishry dari
Syekh Muhammad bin A’lauddin al-babily dari Syekh Salim bin ahmad as-sanhuri
dari Syekh an-njm Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi dari Syekh al-islam zakariya
bin Muhammad al-anshary dari Syekh al-hafidz Ahmad bin ‘Ali bin hajar
al-asqalany dari Syekh Ibrahim bun Ah,mad at-tanukhy dari Syekh Abi al-abbas
Ahmad bin Abi Thalib al-hijar dari Syekh al-husain bin al-Mubarak az-Zaibidi
al-hanbaly dari Syekh Abi al-waqt Abdl Awwal bin ‘Isa as-sajazy dari Syekh abi
al-husain abdl rahman bin mudzaffar bin Dawud ad-dawudy dari Syekh abi Muhannad
Abdullah bin Ahnad as-sarkhasy dari Abi Abdullah bin Muhammad bin Yusuf
al-faribary dari sang pengarangnya al-imam Abi Abdullah Muahammad bin ‘Ismail
al-Bukhary bin Ibrahim bin al-Mughirah bin bardazabah rahimahullah wa nafa’ana
bihi wa bi ‘ulumihi Amin[4]
Bersama teman-temanya di mekkah –yang
berasal dari Afrika, Asia Selatan, Asia tengah, dan Arab-mereka pernah berikrar
di depan multazam. Tepatnya pada malam bulan Ramadhan yang penuh berkah. “Demi
Allah kami akan melakukan perjuangan di jalan-Mu untuk menjunjung kalimat
Islam, mempersatukan umat, dengan menyebarkan ilmu dan kesadaran. Serta
memperdalam agama demi mendapatkan ridha-Mu tanpa mengharapkan harta,
kedudukan, ataupun jabatan bagi diri sendiri.”
Tebuireng sebagai
Qiblatnya Pesantren
“Menyiarkan agama Islam artinya
memperbaiki manusia. Kalau manusia itu sudah baik, lantas apalagi yang perlu
diperbaiki. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan.
Contoh-contoh ini telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dalam berjuang.”
Pernyataan tersebut pernah dikemukakan
oleh Hadratus Syekh dalam rangka menegaskan tekadnya untuk mendirikan pesantren
di Tebuireng. Mula-mula keinginan Kiai Hasyim ini tidak disetujui oleh
kawan-kawan sesama kyainya. Sebab kala itu desa Tebuireng adalah desa yang
sudah amat parah akan kemungkarannya. Dimana perzinahan, perjudian, taruhan,
perampokan, mabuk-mabukan dan adu ayam sudah menjadi kebiasanna masyarakat
Tebuireng.
Langkah awal Kiai Hasyim untuk
mendirikan pondok ialah membeli sebidang tanah milik seorang dalang ternama di
desa Tebuireng, tepatnya pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (sekitar tahun 1899
M). Lalu untuk banguanan awal beliau mendirikan sebuah teratak bambu yang
luasnya hanya sekitar 10 meter peresegi. Teratak ini terbagi atas dua buah petak
rumah. Separuh untuk tempat tinggal Kyai Hasyim dan keluarga, sepetak lagi
digunakan sebagai tempat mengaji dan dan beribadah para santri. Santri generasi
awal tercatat hanya 8 orang. Kemudian dalam tempo tiga bulan, jumlah santri
bertambah menjadi 28 orang.
Setelah berhasil mendirikan pondok di
desa Tebuireng, seperti lazimnya pesantren kala itu. Kiai Hasyim tidak memberi
nama lain untuk pondoknya tersebut. Beliau lebih memilih nama pondoknya adalah
nama desa itu sendiri, yakni Tebuireng. Hal ini seperti kasus pondok
Tambakberas, Sidosermo, Bloagung, Tegalsari, Pabelan, Langitan, Krapyak,
Lirboyo, Maskumambang, Lasem, Sarang, Sidogiri, dll. Sang pendiri tak memberi
nama lain kecuali nama dimana pondok itu berdiri.
Ada tiga versi mengapa desa tersebut dinamakan
Tebuireng. Versi pertama mengatakan; desa Tebuireng pada asalnya bernama kebo
ireng (kerbau hitam). Ceritanya, di daearah tersebut ada seeokor kerbau yang
terendam di dalam lumpur. Di dalam lumpur tersebut terdapat banyak lintah.
Ketika ditarik menuju daratan, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang
asalnya putih kemerah-merahan menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan
lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya
berubah menjadi Tebuireng.
Versi kedua; nama Tebuireng diambil dari
nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam yang berdomisili di sana.
Versi ketiga; di sekitar desa tersebut memang tumbuh banyak pohon tebu yang
berwarna hitam. Hingga karena saking banyaknya, pemerintah Belanda mendirikan
pabrik gula di Cukir, dekat Tebuireng.
Namun demikian, kedatangan Kiai Hasyim
di Tebuireng bukan berarti masyarakat setempat menerima dengan baik. Berbagai
gangguan dan rintangan telah mengancam beliau dan para santri. Saban malam
mereka harus berjaga, sebab kalau tidak nyawa akan melayang terkena tusukan
benda tajam dari masyarakat.
Melihat peristiwa seperti ini, Kiai
Hasyim berusaha keras untuk mengamankan situasi. Beliau meminta bantuan kepada
para kiai di Cirebon yang terkenal akan keampuhannya itu. Mereka itu ialah;
Kiai Sholeh Benda, Kiai Abdullah Pangurangan, Kiai Syansuri Wanantara, Kiai
Abdul Jamil Buntet, dan Kiai Abbas. Selama kehadiran lima Kiai tersebut, tratak
yang merupakan cikal bakal pondok Tebuireng menjadi tempat pelatihan silat dan
ilmu hikmah lainnya. Guna sebagai bekal menghadapi para musuh yang kian lama
semakin menjadi-jadi.
Kerja kerasnya tak sia-sia, musuh yang
terhimun dari para preman dan geng desa Tebuireng tunduk takluk di hadapan Kiai
Hasyim. Bahkan diantara mereka ada yang minta diajarkan ilmu beladiri dan ilmu
hikmah. Bahkan tak sedikit pula yang menjadi murid Kiai Hasyim. Belajar,
mengaji dan beribadah di dalam tratak kecil itu.
Keberadaan pondok Tebuireng semakin
diakui oleh masayarakat luas. Bukan hanya Tebuireng dan Jombang saja. Banyak
orang-orang dari berbagai daerah ikut mondok, menuntut ilmu kepada Kiai Hasyim.
Tercatat pada tahun 1915-an, santri Tebuireng telah mencapai 2.000 santri yang
berasal dari berbagai penjuru tanah air. Pondok Pesantren Tebuireng mendapat
pengakuan resmi oleh pemerintah belanda pada 6 Pebruari 1907.
Pada zaman belanda, Tebuireng tak lepas
dari gangguan. Bahkan suatu ketika tentara belanda menghancurkan dan
mengobrak-abrik isi pondok. Banyak bangunan yang dibakar. Kitab-kitab yang
mereka gunakan mengaji juga dibakar. Kejadian ini bermula, karena Belanda tidak
senang akan Kiai Hasyim yang sangat berpengaruh waktu itu. Berbagai macam
tuduhan dan fitnah terus dilontarkan, hingga terjadi kerusuhan besar-besaran
antara santri dan kolonial.
Kiai Hasyim menanggapi peristiwa ini
dengan memberi dorongan kepada santri: “Kejadian ini justru menambah semangat
kita untuk terus berjuang menegakkan Islam dan kemerdekaan yang hakiki”.
Kabar yang terjadi di Tebuireng
terdengar oleh banyak pesantren di Jawa. Mereka turut menyumbangkan bantuan dan
sumbangan untuk Tebuireng. Sehingga dalam waktu sekitar 8 bulan, Tebuireng
bangit seperti sedia kala. Nama Tebuireng semakin terkenal, para santri yang
datang untuk mengaji pun bertambah banyak.
Ad-Da’wah Bil Qalam
Tampaknya tidak ada orang yang tak
mengenali siapa KH M. Hasyim Asy’ari. Perjuangannya hingga kini masih terasa,
diantaranya peninggalan beliau yang berupa organisasi Islam terbesar yang
beliau dirikan pada 1926 dengan nama “Nahdhatul Ulama”. Tetapi sedikit sekali
dari mereka yang mengetahui bahwa KH Hasyim Asy’ari ternyata seorang ulama yang
produktif menulis. Telah banyak kitab-kitab beliau yang terbit, dan setiap
tahunnya pun dikaji dimana-mana.
Waktu yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari
untuk menulis biasanya adalah pagi hari diantara jam 10.00 sampai menjelang
dhuhur. Selain untuk menulis, waktu ini biasanya beliau gunakan untuk
istirahat, membaca kitab dan menerima tamu yang setiap harinya berkisar 50
tamu.
Tulisan beliau beragam, ada yang
menerangkan agama, aqidah, syari’ah, fiqh, hadits, hubungan sesama manusia,
politik, etika, sejarah dan sebagainya. Kitab yang beliau tulis merupakan
pengalaman yang pernah beliau alami. Seperti kitab at-tanbihat al-wajibat,
adalah sebuah kitab yang berisikan pengalaman beliau atas perayaan maulid yang
dicampuri dengan berbagai macam kemungkaran. Peristiwa ini terjadi ketika
beliau pergi ke Sewulan Madiun pada 1355 H. Ada juga kitab beliau yang berjudul
ziyadah at-ta’liqot, isinya adalah perdebatan/ikhtilaf beliau dengan Syekh
Abdullah bin Yasin Pasuruan yang menolak amaliyah NU.
Beliau juga sering mengisi kolom pada
majalah dan surat kabar pada waktu itu, seperti, Panji Masjarakat, Soeara
Masjoemi, dan Swara Nahdhotul Oelama’. Tulisan beliau biasanya berbentuk
artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca (beliau
sebagai pengasuh rubrik tanya jawab masalah fiqhiyah ).
Sangatlah sulit untuk dibayangkan,
betapa sibuknya beliau sebagai pengasuh pesantren, pemimpin NU, ketua Ormas,
Penasehat, Pembimbing para pejuang Pembela anah air, menyempatkan diri unuk
menulis. Sungguh sebuah semangat yang jarang dimilki oleh kebanyakan kiai.
Untuk membudayakan tradisi tulis menulis
di kalangan warga NU, bersama KH Abdul Wahab Hasbullah, beliau mendirikan
majalah NU dengan nama “Soeara Nahdhotoel Oelama”. Edisi perdananya terbit pada
1 Shafar 1346 /1930 (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan
informasi penting tentang laju perkembangan NU, di dalamnya juga terdapat
berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki ciri khas yang tak
dijumpai majalah lainnya, yakni bertuliskan Jawa pegon (bahasa jawa yang
ditulis dengan huruf hijaiyah). Atas prakarsa beliau inilah, kini telah beredar
banyak majalah NU di Nusantara hingga menjadikan generasi muda NU gemar untuk
tulis menulis.
Adapun karya-karya Hadratus syekh yang
dapat di telusuri dan dinikmati hingga saat ini diantaranya ialah:
1. Al-Tibyan fi
an-nahy ‘an muqathaah al-arham wa al-aqarib wa al-ikhwan. Penjelasan dalam
melarang memutus silaturrahim sanak famili, kerabat dan saudara.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama.
Pembukaan undang-undang dasar (landasan hukum pokok) organisasi Nahdhatul
Ulama’
3. Risalah fi ta’kid al-akhdz bimadzhab al-aimmah al-arba’ah.
Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh atas madzhab empat.
4. Mawaidz. Beberapa Nashihat.
5. Arba’in haditsan tata’alliq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul
Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar Nahdhatul Ulama’
Kelima kitab Hadratus syekh di atas
yaitu,at-tibyan, al-qanun al-asasy, risalah, dan arbain dikumpulkan menjadi
satu kitab yang diatasnya diberi judul besar AT-TIBYAN berjumlah 41 halaman.
1. An-Nur al-Mubin fi
mahabbah sayyid al-mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada
pemimpin para rasul.
2. At-Tanbihat al- Wajibatliman yashna’ al-maulid bi
al-munkarat. Peringatan-peringatan wajib untuk orang yang mengadakan kegiatan
maulid dicampuri dengan kemungkaran
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi hadits al-mauta wa
syrat as-sa’ah wa bayan mafhum as-sunnah wa al-bid’ah. Risalah ahli sunnah wal
jama’ah menerangkan tentang hadits-hadits yang menjelaskan kematian serta
tanda-tanda hari qiyamat dan menjelaskan kefahaman sunnah dan bid’ah.
4. Ziyadah Ta’liqat a’la mandzumah as-Syekh ‘abdullah bin
yasin al-fasuruani . Tambahan yang berhubungan atas nadzm syekh abdullah bin
yasin Fasuruan.
5. Dhu’ul Misbah fi bayan ahkam an-nikah. Cahayanya sebuah
yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
6. Ad-Durosul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Mutiar
yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
7. Hasyiyah ‘ala Fath ar-rahman bi syarah risalah al-wali
ruslan li Syekh al-islam Zakariya al-anshari. Komentar atas kitab fath
ar-rahman penjelas kitab risah al-wali ruslan karya Syekh al-islam Zakariya
al-anshari.
8. Ar-rsalah at-tauhidiyah. Risalah tauhid.
9. Al-qalaid fi bayani ma yajib min al-aqaid.
10. Ar-risalah al-jama’ah.[2]
11. Ar-risalah fi al -’aqaid. Menerangkan aqidah
12. Ar-risalah fi at-tasawwuf. Menerangkan tentang ilmu
tashawwuf
13. Adab al-‘Alim Wa al-Muta’allim fima yahtaju ilaih
al-muta’allim fi ahwal ta’limih wa ma yatawaqqaf ‘alaih al-muallim fi maqat
ta’limih .Sopan santun orang yang alim dan pelajar
Dari sekian banyaknya karya Hadratus
Syekh, kitab adalah yang paling fenomenal. Menjadi salah satu bidang study di
berbagai lembaga pendidikan. Juga sering dijadikan bahan pembahsan mahasiswa
dalam membuat tesis atau skripsi.
Di samping aktif mengajar beliau juga
aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada
tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikan
Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH.
Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
“Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad
bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad
bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama
Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar
sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi
(peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan
ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem
berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda
dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja,
bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar
membuka kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang
ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadu domba
antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal
ini, melihat bahaya yang akan dihadapi oleh umat Islam, dan oleh karena itu
beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah
organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu
sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola
bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli.
Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan.
Kegiatan diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun
ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan
nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi
Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan
sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang
kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian
dianulir dengan keputusan Muktamar Situbondo yanh menghendaki NU sebagai
organisasi sosial keagamaan kembali pada khitthohnya.
Dari Komite Hijaz
hingga Pendirian NU
Penjajahan panjang yang mengungkung
bangsa Indonesia menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908
muncul sebuah gerakan yang biasa disebut Kebangkitan Nasional. Semangat
Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai
organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan.
Di kalangan pesantren muncul pula
organisasi-organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah
Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul
Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut
Tujjar, (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul
Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang
sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik
pendirian tafwirul afkar ini adalah tokoh muda, KH Abdul Wahhab Hasbullah
(pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid Hadratus syeikh KH. M.
Hasyim Asy’ari. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama
terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan,
sosial dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu
Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia
juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini
banyak diziarahi kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia, karena dianggap
bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat
sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad
Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya,
kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan
bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Akibatnya, kalangan
pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan
sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di
Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan
kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka KH. Hasyim Asy’ari bersama para pengasuh pesantren lainnya,
membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai oleh KH. Wahab
Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk
mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan sama, datang pula
tantangan dari berbagai penjuru dunia Islam atas rencana Raja Ibnu Saud
tersebut, sehingga rencana itupun digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat
Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul
afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang
ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang
dimintai persetujuannya tentang rencana tersebut, meminta waktu untuk
mengerjakan shalat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Namun dinanti-nanti
sekian lama, petunjuk itu belum juga datang. Kiai Hasyim Asy’ari
sangat gelisah. Dalam hati kecilnya beliau ingin berjumpa dan
membicarakan hal itu kepada gurunya, KH Khalil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di sana, tepatnya di
Bangkalan Madura, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami KH. M. Hasyim
Asy’ari. Kiai Khalil kemudian mengutus salah satu orang santrinya yang bernama
As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo),
untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada KH. M. Hasyim Asy’ari di Tebuireng.
Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat
23 kepada KH. M. Hasyim Asy’ari.
Ketika KH. M. Hasyim Asy’ari menerima
kedatangan pemuda As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung
bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya
lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan dan pendirian
organisasi tersebut belum juga terealisasi. Agaknya KH. M. Hasyim Asy’ari masih
menunggu kemantapan hati untuk mendirikan organisasi itu. Sampai suatu ketika,
tepatnya pada tahun 1925, pemuda As’ad kembali lagi menemui Hadratus Syeikh.
”Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil
untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda As’ad sambil menunjukkan tasbih
yang dikalungkan Kiai Khoili di lehernya. As’ad belum pernah menyentuh tasbih
tersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh
dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab
khawatir tasbihnya akan tersentuh. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh
adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu
sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Khalil juga meminta untuk
mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahar di setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua kalinya ini
membuat hati Hadratus Syekh semakain mantap. Hadratus Syekh bisa menangkap
isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan jika kelak ia bersama kawan-kawannya
mendirikan sebuah organisai/jam’iyah. KH. M. Hasyim Asy’ari menganggap bahwa
inilah jawaban yang dinanti-nanti melalui salat istikharahnya. Namun sebelum
keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Akhirnya, pada tanggal 16 Rajab 1344
H/31 Januari 1926 M, organisasi itu telah lahir dengan nama jam’iyah Nahdhatul
Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. KH. M. Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai
Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota
terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan
hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham
pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab
yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain
bertujuan memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang
bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas,
dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan
kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarkan ide agar umat Islam
terlepas dari pola pemikiran para madzhab dan meninggalkan segala bentuk
praktek tarekat.
Semangat Abduh ini mempengaruhi
masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para
mahasiswa yang telah belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH.
Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kiai Hasyim
pada prinsipnya menerima ide-ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali
ajaran Islam, akan tetapi beliau menolak pemikiran Abduh agar umat Islam
melepaskan diri dari keterikatannya dengan madzhab. Sebab dalam pandangannya,
umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari
kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini
memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim
yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai di Jawa dan Madura, pada akhirnya
berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Tak heran jika saat pendirian organisasi
pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai
Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode
tahun 1937-1942).
Bila Kiai Kholil Bangkalan terkenal
dengan sebutan “Syaikhona Waliyullah” maka KH. M. Hasyim Asy’ari mendapat gelar
“Hadratus Syekh”. Gelar Maha Guru ini muthlaq diberikan kepada Kiai Hasyim
sebab hampir seluruh ulama’ tanah Jawa pernah berguru kepada beliau. Tercatat
seperti KH. Abdul Karim, pendiri PP Lirboyo kediri, KH. A Wahhab Hasbullah, PP
Tambak beras, KH. Romly, PP Darul ulum, dll.
Meski beliau menyandang banyak gelar –
seperti yang dituliskan dalam taqridz atas kitab sirajut thalibin karya Kiai
Ihsan Jampes, hal ini tidak menjadikannya sombong. Beliau tidak pernah
menyebutkan gelar itu sama sekali. Padahal beliau adalah orang yang paling pas
untuk mendapatkan gelar tersebut.
Terbukti pada manuskrip asli karya-karya
beliau. Disana tidak ditemukan embel-embel yang menyertai nama beliau , seperti
Kiai, haji, syekh, alim, apalagi a-allamah. Akan tetapi beliau lebih memilih
embel-embel yang bersifatnya merendahkan diri kepada Allah. Beliau selalu
menulis kata-kata al-faqir (yang faqir), al-haqir (yang hina), sebelum namanya
disebut. Inilah salah satu sifat tawadhu’ yang beliau miliki.
Umat Islam Bersedih
Ketika Beliau Mangkat
Bagaimana pun hebatnya manusia hidup di
dunia, pasti maut akan menjemputnya. Tak terkecuali, Hadratus Syekh sebagai
manusia biasa, beliau di panggil Allah SWT untuk selama-lamanya pada malam
bulan Ramadhan. Tepatnya tanggal 3 Ramadhan 1366 H. atau 21 Juli 1947 M. Meski
semua masyarakat tahu tanggal wafatnya Kiai Hasyim, namun karena wasiatnya,
beliau tidak kerso di khouli.
Waktu itu, tepatnya pukul 9 malam,
Hadratus Syekh kedatangan tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Tamu
istimewa tersebut, memberikan sepucuk surat kepada beliau. Dalam surat itu,
Bung Tomo memohon kepada Hadratusy Syaikh untuk mengeluarkan komando jihad fi sabilillah
bagi umat Islam Indonesia, karena Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan
Malang serta banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi
korban.
Empat hari sebelumnya, tamu itu sudah
menemui Hadratus Syekh yang ketika itu beliau baru saja selesai mengimami salat
Tarawih dan ingin mengisi pengajian ibu-ibu muslimat. Si tamu juga menyampaikan
surat dari Jenderal Sudirman. Yang intinya beliau diminta mengungsi ke
Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap,
beliau akan dipaksa membuat statemen untuk mendukung Belanda, dimana hal itu
akan berpengarauh buruk bagi moral para pejuang. Jajaran TNI di sekitar Jombang
akan membantu pengungsian Kiai Hasyim. Namun beliau tidak berkenan menerima
tawaran tersebut.
Kiai Ghufron, yang mendampingi beliau,
memberi laporan, bahwa kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat
sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim tampaknya semakin
resah melihat keadaan yang kian lama kian terpojokkan. Sambil memegang kepala,
Kiai Hasyim berkata dengan nada kaget dan prihatin: “Masya Allah, Masya
Allah…”. Tak lama kemudian beliau tak sadarkan diri.
Di saat mendengar kabar kalau beliau tak
sadarkan diri, putra-putrinya berkumpul dengan rasa panik. Dokter yang memeriksanya
mengatakan, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (hesemblonding) yang sangat
serius. Penyakitnya semakin menjadi, sehingga tepat pada pukul 03.00 dini hari,
Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un musibah besarpun terjadi. Ulama’ yang
paling disegani seantero jazirah Islam kala itu, telah menghadap ilahi rabbi
dengan damai dan sentosa.
Kepergian Hadratus Syekh KH. M. Hasyim
Asy’ari, bukan hanya membawa kesedihan untuk umat Islam di Indonesia, di negara
luar pun ikut berduka. Mereka amat merasa kehilangan seorang tokoh dan figur
yang mereka banggakan.
Semoga apa yang beliau tempuh selama
hidupnya dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya balasan. Dan semoga
dengan kepergian Kiai Hasyim, muncullah Hasyim Asy’ari yang lain, baik dari
dzuriyah, kerabat, santri, maupun kaum muslimin. (dari berbagai sumber)