VeiLady
Guru tua, begitu Beliau disapa. Beliau adalah Ulama Hadamaut yang hijrah ke
Indonesia untuk menjaga benteng pertahanan akidah Islam di Sulawesi dari
rongrongan ancaman Missionaris Kristen. Beliaulah pendiri Yayasan Alkhairaat,
yang kini terdiri dari TK, SD, SMP,SMA, SMK,MI, MTS, MA hingga Universitas.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam Al-Khairaat berpusat di Kota Palu dan menyebar
ke daerah sekitar, menjadikannya sebagai pintu gerbang dakwah Islam di Kawasan
Timur Nusantara.
Nasab Beliau adalah :
Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-‘Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.
Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-‘Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.
Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 14
sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1881 M. Beliau mendapat pendidikan
agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau, Habib Salim
adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas mutlak
untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut. Sedangkan kakek Beliau, Al Habib
Alwi bin Segaf Aljufri, adalah seorang ulama di masa itu. Beliau adalah salah
satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul
dalam kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman
Al-Masyhur.
Tatkala Habib Idrus menginjak usia remedial, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat
bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya
tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar
dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib Idrus kemudian mendalami berbagai
Ilmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma’ani, bayan, badi’,
nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra. Selain pada ayahnya, Habib Idrus juga
belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di Hadramaut, diantaranya adalah :
Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar
Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein
bin Sholeh Al-Bahar, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Dan Al-Habib Abdullah
bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.
Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib
Idrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke
makam datuknya Rasulullah salallahu alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka
menetap selama enam bulan. Selama itu Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk
mengajak putranya ini berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang berada di
Hijaz pada masa itu, untuk memminta berkah, do’a serta ijazah dari mereka.
Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Makkah. Habib Salim
kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut. Setelah itu beliau membawa
Habib Idrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya
Syarifah Nur Al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua
saudara kandung Habib Idrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia.
Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib Idrus dan ayahnya kembali ke
Hadramaut. Sebtibanya di Hadramaut, Habib Idrus mengajar di Madrasah yang
dipimpin oleh ayah beliau.
Setelah itu Habib Idrus menikah dengan Syarifah Bahiyah, yang kemudian
dikaruniai tiga orang anak: Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan.
Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan 1906 M ayah beliau wafat. Dan pada
tahun itu pula Habib Idrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi
di kota Taris, Hadramaut, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.
Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan Inggris. Pada masa
penjajahan Inggris itulah Habib Idrus bersama seorang sahabatnya, Habib
Abdurrahman bin Ubaidillah (keduanya dikenal sebgai ulama yang moderat)
bermaksud ke Mesir untuk mempublikasikan kekjaman Inggris dan pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang dilakukan oleh Inggris di Hadramaut. Setelah sesuatunya
dipersiapkan dengan matang dan rapi, keduanya berangkat melalui Pelabuhan Aden.
Namun di Pelabuhan Laut Merah itu rencana mereka diketahui oleh pasukan
Inggris. Keduanya ditangkap, dokumennya disita dan dimusnahkan. Setelah ditanah
beberapa waktu kemudian mereka dibebaskan dengan syarat, mereka tidak
diperbolehkan bepergian ke negeri Arab manapun. Setelah kejadian itu Habib
Abdurrahman memilih tinggal di Hadramaut, sedangkan Habib Idrus memilih hijrah
ke Indonesia.
Pada tahun 1925 M Habib Idrus kembali untuk kedua kalinya ke Indonesia. Pada
mulanya beliau tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana beliau menika dengan
Syarifah Aminah Al-Jufri. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak
perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah
dengan Sayyid Segaf bin Syekh Al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah
Dr.Salim Segaf Al-Jufri, Duta besar Indonesia untuk Arab Saudi periode
sekarang.
Pada tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar dan
berdagang. Namun di penghujung tahun 1928 M karena seringkali mengalami
kerugian dalam berdagang, Habib Idrus berhenti Berdagang dan memulai mengajar.
Di tahun itu pula beliau pindah ke kota Solo. Pada tanggal 27 Desember 1928
bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah di kota
Solo. Namun, pada akhir tahun 1929 M Habib Idrus meninggalkan kota Solo dan
hijrah ke Sulawesi. Beliau kemudian berlayar menuju Manado. Ketika kapalnya
singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk
berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams
Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan
madrasah di kota Palu.
Setibanya di Manado, Habib Idrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah
masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada
akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan
disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib Idrus yang akan
mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Dan pada
tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus prizinan pendirian dan surat-surat lainnya
ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota
Palu.
Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib
Idrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal
ini karena Habib Idrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya
tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus
dalam belajar. Habib Idrus membrikan gaji kepada para guru dan staf sekolah
dari hasilnya berdagang.
Habib Idrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas
yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan
Al-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang
kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku,
dan Irian Jaya. Keberadaan perguruan Al-Khairaat dan para santrinya telah
berhasil membentengi kawasan Timur Indonesia dari para penginjil, yang waktu
itu pada masa Hindia Belanda ada tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan
suku-suku terasing di Sulawesi Tengah. Mereka adalah Indische Kerk (IK)
berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan
Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara.
Pada tanggal 11 Januari 1942 M Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota
Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama
stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan Al-Khairaat. Selama tiga
setengah tahun kependudukan Jepang, Habib Idrus tidak menyerah sedikitpun untuk
mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun
secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang
berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat.
Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan
seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi. Tepat
saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib Idrus
kembali membuka perguruan Al-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali
untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26
tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh
kawasan Indonesia Timur.
Perguruan Alkhairaat kemudian mengembangkan sayapnya dengan membuka perguruan
tinggi pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga
fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas
Syariah. Dan Habib Idrus sebagai Rektor pertamanya. Ketika terjadi peristiwa
pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi Al-Khairaat
dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk
berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya
untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah
keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairaat dibuka kembali.
Masih dalam suasana Idul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib
Idrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama
dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22
Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib Idrus sudah
mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat
pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin
di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.
Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah
Al-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta
pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid Al-Khairaat meneybar di
seluruh kawasna Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak
kenal putus asa ini. Salah satu murid belia yang melanjutkan dakwahnya adalah
Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijarh dari kota Palu ke Kota Malang untuk
berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid
di Kota Malang. Ketika wafat, Habib Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat
dan ratusan sekolah, serta beberapa madrasah yang beliau dirikan kala hidupnya.
Kini perguruan Besar Alkahiraat danYayasan Al-khairaat, dibentuk pula Wanita
Islam Al-Khairaat dan Himpunan Pemuda Al-Khairaat.